05/05/11

kadang hal baik itu musti dipaksa

Tanpa terasa sudah mau menginjak hari raya, aku tetap datang ke masjid itu bersama Rafik. Akhirnya sudah mau selesai, setelah bulan ramadhan aku berniat untuk tidak akan kembali karena seperti kata Rafik hanya pada ramadahan aja butuh tambahan pengajar. Biasanya, usai ramadhan jumlah anak-anak yang mau tetap belajar mengaji berkurang jadi aku pikir tidak dibutuhkan lagi tambahan pengajar. “Akhirnya, aku tidak akan menemukan anak-anak kecil yang manja dan suka cari perhatian lagi, hal yang terpikir dibenakku saat itu. Bagiku anak kecil disana terlalu agresif jadi sulit untuk diajari, jadi aku merasa tak mau lagi untuk kembali” . Aku dan Rafik mulai mengajar seperti biasa, kali ini sedikit ditambahkan dengan sedikit permainan anak kecil. Aku sebetulnya enggan untuk melakukannya tapi berhubung aku harus tetep ikut karena pengajarnya emang hanya berdua jadi terpaksa aku turut bermain. “wah kek anak kecil banget” ujarku dalam hati. Akupun terpaksa tersenyum yang sebenarnya aku enggak menyukai permainan untuk anak kecil ini yang sudah lama aku tinggalkan, terakhir aku bermain kek begini disaat usiaku 12 tahun. Tanpa sadar akupun ikut larut dalam permainan tersebut, tadinya senyumku yang terpaksa seakan uda mulai terlupa berganti senyum riang yang sudah lama tak tampak berseri diwajahku. Setelah permainan usai akupun pamit pulang untuk bisa berbuka bersama keluarga dirumah dan seperti biasa Rafik menemani mereka untuk berbuka bersama di masjid itu.

Keesokan harinya tepat dihari terakhir bulan ramadhan aku mengiyakan pinta anak-anak untuk sekali-kali berbuka bareng dengan mereka.  Hari itu aku sendiri lagi karena teman-temanku berhalangan hadir. Seperti biasanya aku membuka dan mengajari mereka semua mengaji, anak-anak yang ramai dan suka mencari perhatian aku gertak jika tidak mau mengaji nanti aku tidak akan mau buka bareng dengan kalian. Akhirnya anak-anak pun mau untuk mengaji. Usai mengaji akupun menunggu berbuka bareng bersama mereka, kami bercanda dan asyik ngobrol mendengar celotehan mereka. Suara adzan mulai terdengar, akhirnya aku memimpin anak-anak untuk berdoa bersama sebelum berbuka kemudian aku membatalkan puasaku dengan minum teh anget yang ada didepanku. Setelah itu aku mulai pergi mengambil air wudhu dan sholat berjamaah dimasjid. Usai sholat ada seorang anak kecil yang menghampiriku dan memberikanku sebuah roti dan berkata “ mas, ini namanya roti senyum lho, aku memberikannya kepada mas agar mas bisa tersenyum. Selama ini aku melihat senyuman mas sedikit, jadi makanlah roti ini agar mas selalu bisa tersenyum, dan jika besok mas kembali mengajar aku tidak takut lagi dengan mas..”. Sebuah panah tertancap didadaku ketika anak itu mengucapkan kata itu. Akupun hanya bisa tersenyum tanpa bisa mengucapkan sepatah katapun. Akupun pamit untuk pulang dan membawa roti itu pulang.

Dalam perjalanan pulang itupun aku terus kepikiran dengan apa yang diucapkan oleh anak itu. Akupun berhenti sejenak untuk memikirkannya sambil mengingat apa yang telah aku lakukan kepada mereka selama ini. Aku malu terhadap diriku sendiri dan jika mereka tahu aku terpaksa jadi pengajar mereka apakah senyuman mereka akan tetap berkembang, pertanyaan itu selalu muncul dibenakku sampai suatu ketika aku melihat seorang kakek yang sudah mulai berumur tertatih-tatih keluar dari suatu gubuk. Akupun hendak membantunya karena rasa iba. “kek, mau kemana?” tanyaku kepada kakek. Kakekpun menjawab, “biasa nak pergi ke langgar”. Dan akupun memakirkan motorku sambil menawarkan untuk untuk membantu kakek tersebut, “inikan belum isya’ dan adzan masih setengah jam lagi kan?” ujar kakek lagi,” kakek kan sudah renta , jalannya pelan jadi nanti takut sampai tidak pada waktunnya.” Akupun bertanya kembali kepada kakek, “kenapa kakek yang sudah renta ini memaksa untuk tetap pergi ke langgar, padahal kakek bisa saja sholat dirumah.” Dan sambil menunjuk kearahlangit kakek itu berkata, ” lihatlah langit itu nak, bentar lagi berjuta bintang disana sebentar lagi akan tidak ada. Nantipun kita tidak tahu apa mentari pagi akan tetap bersinar atau akan tertutup mendung. Dulu aku sempat yakin mentari pagi akan terus bersinar dipagi hari namun saat itu aku temui mendung dipagi hari. Saat aku yakin siang yang cerah akan berganti dengan malam bertabur bintang tapi yang kutemui dimalam itu hanyalah mendung yang menutupi gemerlap langit malam. Kakek hanya ingin datang tepat waktu selagi pagi masih banyak dijanjikan berjuta “BINTANG” oleh-NYA.” Akupun kembali hanya bisa sambil tersenyum mendengar apa yang diucapkan kakek itu sambil masih kepikiran apa yang dikatakan oleh anak kecil itu. Dalam hati aku berkata, “kakek itu benar saat ini aku masih bisa tersenyum namun aku tak tahu apa yang akan terjadi nanti, senyum itu bisa berubah menjadi senyum semu atau bahkan senyum simpul.”
Setelah mengantarkan kakek itu sampai kelanggar akupun mengambil motorku dan bergegas pulang untuk makan di rumah sekaligus nanti takbiran bersama keluarga. Ditengah perjalanan aku melihat sekumpulan anak menggemakan takbir bersama, terasa tenang melihat mereka. Akupun teringat pada ucapan Rafik kalau nanti dimasjid ada takbiran bersama anak-anak habis isya’. Berhenti sejenak melihat dan akupun menelpon ibu “ bu, maaf saya gak jadi pulang, tadi saya sudah makan di masjid bersama anak-anak dan saya ijin ingin ikut membersamai anak-anak takbiran.” Ibupun mengijinkanku untuk takbiran bersama mereka. Akupun memutar balik motorku untuk kembali kemasjid dan takbiran bersama karena aku tahu saat ini aku masih diberikan kesempatan oleh-NYA untuk bisa membersamai mereka.
Sesampai di masjid, anak-anak berteriak, “ wei mas Wahid datang, asyik.” Merekapun langsung mendatangiku dan akupun tersenyum melihat senyum mereka. Sambil melihat senyum mereka hatikupun berkata “ senyum mereka begitu lepas akupun pernah seumuran mereka dan aku bisa merasakan senyuman itu karena aku pernah seumuran mereka” akupun turun dari motor sambil diseret anak-anak untuk langsung masuk kemasjid. Aku pun kemudian sambil mendatangi Rafik dan berkata, “aku tadi udah ijin sama ibukku untuk ikut bersama kalian takbiran disini.” Ia pun menyambutku dengan senyuman hangat. Aku memang kagum kepada rafik, ditengah kesibukannya ia masih bisa bermanfaat bagi orang lain. Setelah itu kami dan anak-anak langsung menggemakan takbir dengan menggunakan michropon. “ALLAHU AKBAR, ALLAHU AKBAR, ALLAHU AKBAR LAA ILAHA ILLALLAHU ALLAHU AKBAR, ALLAHU AKBAR WA LILLA HILHAMD” saling bersautan kamipun bergantian mengucapkan lafal takbir. Hatikupun merasa senang. Tak terasa waktu isya’ pun sudah mulai tiba. Kamipun berhenti dan kemudian mengambil air wudlu untuk kemudian melakukan sholat berjamaah. Seperti biasa karena banyak anak maka masjid ramai, banyak anak yang lari-larian kesana-sini. Akupun langsung membantu Rafik untuk menenangkan dan mengajak mereka untuk langsung mengambil air wudlu. Aku menjadi paham, mereka memanng berbeda mereka bisa membuat aku belajar banyak hal tentang arti kesabaran dan arti sebuah senyum. Di masa anak senyum mereka itu adalah jujur. Setelah mengambil air wudlu kamipun sholat berjamaah. Usai shalat berjamaah kamipun berkumpul kembali untuk meneruskan takbir bersama. Kali ini tercetus dalam benakku bagaimana kalau kita berkeliling kampung sambil takbiran. Akupun kemudian mengutarakan kepada Rafik, ternyata ia pun menyambut baik, anak-anak yang mendengarkannya pun langsung berteriak senang karena mau jalan-jalan keliling bersama. Lagi aku kembali melihat senyum lepas dari mereka. Kamipun kemudian langsung berkeliling kampung, namanya anak pasti sulit untuk diatur agar berjalan dengan tertib, tetep aja ada satu dua orang yang berlarian, tapi kamipun cukup khidmat dan senang mengumandangkan takbir bersama mereka. Sebuah pengalaman yang akan menjadi salah satu cerita terindah dalam lembaran buku kehidupanku. Aku tahu esok adalah sebuah misteri dan akupun tak tahu apa yang terjadi esok, jadi selagi masih diberi kesempatan aku akan selalu merangkai cerita terindah yang tak kan pernah aku sesali. Aku menjadi teringat dengan apa yang diucapkan temanku dulu, “jika ini pagi aku tak kan menunggu sore dan jika ini sore aku tak kan menunggu pagi”. Hidup didunia memang seperti kita menyeberang jalan, hanya sebentar jika aku melakukan sesuatu yang bermanafaat pasti akan kembali kepadaku pula. Membagi senyum itu bukan berarti aku kehilangan senyuman tapi malah akan bertambah senyum itu. Orang yang paling pedih siksaannya pada hari kiamat ialah seorang alim yang Allah menjadikan ilmunya tidak bermanfaat (HR. Al-Baihaqi). Hal yang baik memang kadang harus kita lakukan dengan awal yang terpaksa, dan pembiasaan itu akan menjawabnya. Kalau senang bukan menjadikannya suatu beban tapi melakukan dengan rasa ikhlas meskipun itu terkadang sulit tapi mereka telah mengajarkanku bahwa tak ada yang sulit ketika kita mau untuk berusaha untuk melakukan hal yang baik. Sebuah senyum lepas yang kembali kutemui saat aku membersamai mereka.

Usai takbir berkeliling kamipun pulang dan saat itu Rafik berpesan kepadaku “Jangan meremehkan sedikitpun tentang makruf meskipun hanya menjumpai kawan dengan berwajah ceria /senyum. (HR. Muslim)”